Perkenalkan, namaku Rangga (bukan nama sebenarnya). Aku sudah mengenal situs 21Tahun sejak lama dan suka sekali membaca cerita di dalamnya. Kali ini aku mencoba menceritakan pengalamanku bersama Mbak Nin yang sangat mengesankan bagiku.
*****
Pesta pernikahan kakak sepupuku, Mas Bud, dapat dikatakan sangat meriah dan sangat mewah. Dia memang sangat beruntung, perawakannya yang over size dengan perut yang mirip gentong itu tidak menghalanginya untuk menikahi Mbak Nin, seorang wanita yang sangat cantik dengan body yang sangat aduhai. Aku pun heran, kenapa wanita secantik Mbak Nin yang memiliki tubuh langsing dengan tinggi 170 cm itu mau menikahi Mas Bud. Apa mungkin karena kekayaan Mas Bud? Tapi masa bodohlah, yang pasti mataku selalu tidak bisa lepas dari Mbak Nin, dan otakku pun sibuk memikirkan sesuatu yang sangat nakal.
Seperti biasa, setiap 2 bulan sekali diadakan petemuan keluarga. Karena keluarga kami merupakan keluarga yang sangat besar. Setiap pertemuan keluarga, aku selalu berusaha untuk mencuri pandang, kecantikan dan kemolekan tubuh Mbak Nin yang sempurna itu memang membuatku jatuh cinta dan sangat bernafsu. Ingin rasanya memeluk, mencium dan bercinta dengannya. Tapi sayang pertemuan keluarga yang hanya sehari semalam itu sangatlah sebentar bagiku. Aku selalu tidak pernah puas untuk mengkhayalkan Mbak Nin.
Setelah 14 kali pertemuan keluarga, sekitar 2 tahun setelah pernikahan Mas Bud dan Mbak Nin, akupun kuliah di Jakarta. Karena rumahku di Bandung, aku terpaksa harus mencari tempat kost. Tapi Mas Bud melarangku dan menyuruhku tinggal di rumah besarnya. Aku disuruh menjaga rumah selama kepergian Mas Bud ke negeri Belanda selama kira-kira 2 Bulan. "Sekalian menemani Mbak Nin", demikian kata Mas Bud.
Aku jelas bersedia, selain ngirit uang kost juga bisa selalu melihat keindahan Mbak Nin.
Satu minggu telah belalu semenjak kepegian Mas Bud. Aku pun sibuk di kampus dengan berbagai jenis kegiatannya. Aku berusaha menyibukkan diriku agar pikiran kotor mengenai Mbak Nin dapat aku tepis. Aku tidak mau menghianati Mas Bud, kakak sepupuku.
Jam 7 malam tepat aku sampai dirumah Mas Bud, yang kini hanya didiami oleh satu orang pembantu rumah tangga, satu orang satpam, aku dan Mbak Nin. Aku lihat Mbak Nin belum pulang. Aku pun bebersih diri dan kemudian bersantai di kursi sofa sambil mendengarkan music klasik dari Beethoven. Dolby Digital Suround Sound System Super DTC yang ada di ruangan tengah itu membuai diriku dan akupun terlelap. Entah berapa lama aku tertidur di kursi sofa sampai kemudian aku terbangun dengan dering telephone dari mesin faximile yang ada di kantor pribadi Mas Bud.
Aku terkejut, terbangun dan bermaksud menuju ke arah suara telephone tersebut. Belum sempat aku beranjak dari kursi sofa, aku melihat suatu pemandangan yang sangat mengejutkan. Pintu kamar Mbak Nin terbuka, dan keluarlah Mbak Nin dengan rambut yang basah dan hanya di bungkus handuk berlari menuju kearah ruang kerja Mas Bud. Dari ruang santai tersebut aku bisa melihat jelas kearah ruang kerja Mas Bud. Aku lihat Mbak Nin sedang berbicara dengan seseorang di telephone tersebut.
Handuk itu membungkus tubuh Mbak Nin mulai dada sampai sampai perbatasan antara pantat dan pahanya. Hatiku berdebar sangat keras melihat itu semua. Terlihat betapa sintalnya tubuh Mbak Nin. Walaupun terbungkus handuk, bentuk pinggul dan pantatnya dapat terlihat jelas. Jantungku tambah tidak karuan ketika Mbak Nin mengambil sebuah buku dari lemari atas yang membuat handuk tersebut semakin terangkat.
"Oh, My God!" Ternyata Mbak Nin tidak memakai CD, terlihat belahan pantatnya yang sangat bulat, padat, putih dan mulus tak bercacat. Mbak Nin membalikan tubuhnya, aku terkejut dan tetap pura-pura tertidur. Mbak Nin kemudian duduk diatas meja kerja Mas Bud dan membaca buku yang baru saja diambilnya. Hal ini membuatku semakin gila. Kali ini Mbak Nin menyilangkan kakinya yang ramping itu agak tinggi sehingga handuknya makin naik ke atas. Benar-benar merupakan pemandangan yang sangat indah, pahanya yang putih mulus serta padat berisi itu membuat jantungku serasa mau copot.
"Pletak..!" Tak sengaja kakiku menyenggol vas bunga di atas meja didepan kursi sofa tempat aku berbaring. Aku kaget setengah mati takut ketahuan Mbak Nin. Untung aku tidak kehabisan akal, aku bangun dan membenarkan posisi vas bunga tadi dengn terus berpura-pura tidak menyadari keberadaan Mbak Nin.
"Apaan tuh?" Tanyanya yang kemudian aku jawab dengan singkat.
"Eh.., ini Mbak vas bunganya jatuh." Jawabku.
"Rangga, kesini deh sebentar..!" Aku kaget setengah mati, Mbak Nin memanggilku.
Aku berjalan dengan pura-pura sempoyongan karena masih mengantuk. Aku berjalan menuju ruang kerja Mas Bud. Kulihat dari dekat Mbak Nin dengan posisi yang masih sama memandangiku. Perpaduan antara betis indah dengan paha yang putih, mulus padat berisi itu semakin jelas.
"Duduk sini!" Perintahnya sambil menunjukan kursi yang berada tepat didepan meja yang diduduki Mbak Nin.
Aku menurut tanpa sepatah katapun. Setelah aku duduk di depannya, Mbak Nin mengangkat kaki kanannya dan meletakkan telapak kakinya tepat diantara pahaku. Aku hanya terdiam dengan jantung yang semakin kencang. Entah apa maksud Mbak Nin.
"Nih, lihat.., tadi pagi aku kesandung, dan jari kelingkingku sedikit memar." katanya sambil tak hentinya kutatap kakinya yang indah dan bersih itu. Jari-jarinya mungil dan putih sangatlah indah bila di pandang dan di pegang.
"Mau nggak pijitin kaki Mbak?" Aku pun langsung meraih betis yang indah itu.
Mbak Nin mengangkat kaki kanannya dari pangkuan kaki kirinya. Aku tak menyadari gerakan itu karena pikiran dan mataku saat itu terfokus kepada sesuatu diantara kedua belah paha Mbak Nin. Aku terkejut, telapak kaki kiri Mbak Nin tiba-tiba membelai dan memutari daerah kemaluanku yang masih tegang dan terbungkus celana jeansku. Aku memandangi Mbak Nin dan..,
"Jangan kegat, Mbak tau koq, dari dulu kamu selalu merhatiin Mbak terus khan?" Katanya.
Aku heran dari mana Mbak Nin tahu kalau aku emmang selalu mengagumi keindahannya.
"Mbak Nin juga selalu merhatiin kamu, cuma kamu aja yang nggak pernah sadar." Katanya lagi.
"Kamu sayang Mbak Nin nggak?" Tanyanya.
"Ssayang mm.. mb.. mbak!" Jawabku terbata-bata.
"Mbak Nin juga sayang kamu"
"Bener deh!"
"Kalo kamu sayang Mbak Nin, kamu tolongin Mbak Nin mau khan?" Tanyanya.
"Mau Mbak, tolong apaan?" Tanyaku lagi.
"Cium betis Mbak Nin donk sayang!"
Baru kali ini Mbak Nin memanggilku sayang, bisanya Mbak Nin hanya memanggil namaku. Tanpa satu pertanyaan pun aku ciumi betisnya yang putih dan indah itu. Aku tidak hanya menciumi betis itu, sesekali aku menjilati betis itu. Makin lama makin ke atas sampai ke pahanya. Mbak Nin menggelinjang hebat, desahannya membuatku semakin buas.
"Ah.., sayang.. terus sayang.. enak..!" Aku menjadi semakin nekat, makin lama aku makin keatas terus dan kemudian bibirku tak hentinya menciumi paha Mbak Nin. Semakin lama semakin keatas.
"Cium aku sayang!" Tiba-tiba Mbak Nin menghentikan gerakanku.
Dengan kedua tanggannya Mbak Nin menarik kepalaku dan membimbingku untuk mencium kedua bibirnya yang sangat tipis dan berwarna merah muda. Kita berdua akhirnya saling berciuman. Sesekali lidahku masuk kemulutnya dan begitu pula sebaliknya. Lidah kita saling bermain di dalam mulut. Aku dapat merasakan, kedua tangan Mbak Nin berusaha membuka ikat pinggang kulitku. Aku terdiam saja, sampai akhirnta Mbak Nin menyelipkan tanggannya ke balik celanaku. Mbak Nin meraih batang kemaluanku, aku terus menciuminya sambil mencari ikatan yang mengikat handuk Mbak Nin.
"Mbak aku lepas ya handuknya?" Kataku.
Mbak Nin hanya menganggukan kepalanya sambil terus memandangiku. Tak lama kemudian aku lihat Mbak Nin sudah telanjang bulat didepanku, tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya yang langsing, putih, mulus dan padat tersebut. Terlihat jelas olehku kedua bukit kembarnya. Besarnya tidak seberapa, tetapi memiliki bentuk yang sangat indah. Kencang, Padat, keras dengan puting yang sedikit mencuat keatas. Aku tak sabar, mulutku langsung mendarat tepat di puting susunya. Saat itu aku lakukan segala sesuatu yang bisa mulutku lakukan. Menjilati, menciumi dan menghisap. Kulakukan itu secara bergantian antara yang kiri dan kanan. Aku benar-benar asyik dengan kesibukanku saat itu.
"Ah, sayang.. terus sayang.. oh." Aku menjelajahi seluruh tubuh bagian atasnya.
Dari kedua bukit kembarnya, aku ber alih ke ketiaknya. Aku angkat ke dua tangannya. Ketiaknya yang tanpa bulu dan beraroma wangi itu aku jilati dengan ujung lidahku. Mbak Nin menjepit kepalaku.
"Ah, jangan disitu dong, aku nggak kuat, geli!" akupun beralih ke perutnya.
"Busyet..!" Pikirku, tak sedikitpun lemak yang aku temukan di perutnya.
Sambil menciumi dan menjilati perutnya aku penasaran apakah ada sedikit saja lemak yang bertengger di perutnya. Aku memutar ke pinggangnya.
"Ah..sayang, ternyata kamu nakal..!" Mbak Nin mulai meracau.
Aku terus memutari bagian perutnya yang ternyata tak ada lemak sama sekali.
"Hebat.., a perfect woman." pikirku.
"Tak ada, ya.. betul.. sama sekali.., tak ada cacatnya sama sekali tubuh wanita ini." pikirku.
"Putih, mulus, padat, bersih, tak berlemak dan kencang." aku terus menikmati menjilati tubuhnya.
"Buka celana kamu sayang..!" Mbak Nin menyuruhku, aku pun melorotkan celanaku sekaligus dengan CD ku, sehingga akupun telanjang bulat.
Batang kemaluanku sudah benar-benar mencuat keatas.
"Wow, Punya kamu udah bangun rupanya."
"Tunggu sebentar ya."
Mbak Nin naik keatas meja, seluruh tubuhnya benar-benar di atas meja. Mbak Nin mengatur posisinya, dan akhirnya Mbak Nin nungging diatas meja dengan wajah tepat di depan kemaluanku. Tangannya kirinya meraih dan menarik batang kemaluanku. Aku menurut saja bagaikan kerbau yang di cocok hidungnya. Mbak Nin mulai menciumi kepala kemaluanku.
"OH..,!" Sekarang giliranku yang merasakan nikmatnya permainan yang Mbak Nin lakukan.
Mula-mula hanya kepala kemaluanku yang merasakan hisapan, jilatan, dan sedikit sentuhan giginya yang putih bersih. Lama kelamaan Mbak Nin membenamkan batang kemaluanku sedikit demi sedikit kedalam mulutnya.
"Ah.., Uh..!" Aku mendesah pelan dengan sedikit menyeringai untuk menahan gejolak yang sedang berkecamuk di dalam tubuhku.
Aku nggak mau hal ini cepat selesai. Mbak Nin terus mempermainkan batang kemaluanku. Kadang sesekali Mbak Nin mengulum kedua bijiku. Hal ini membuat kusedikit mules, tapi kenikmatan yang aku raih jauh dari itu semua.
Aku tak mau diam, aku julurkan tangan kananku untuk meraih perbatasan punggung dan belahan pantatnya. Untuk mengimbangi permainannya, pantat Mbak Nin yang terlihat nungging, ku remas dengan tangan kanan, sementara tangan kiri masih meraba-raba punggung Mbak Nin, aku raba dan aku belai punggung yang putih mulus itu. Tanganku bergerak turun menelusuri celah pantatnya, dan sekarang menuju liang kemaluannya. Kemaluan itu kemudian aku sentuh dari belakang, dan terasa sudah sangat basah dan merekah. Aku belai-belai bibir luar kewanitaannya dan akhirnya ku belai-belai clitoris-nya. Merasa clitoris-nya tersentuh oleh jari saya, pantat Mbak Nin semakin dinaikkan, dan terasa tegang, kuluman ke batang kejantanan ku semakin kencang dan buas. Melihat perpaduan antara belaian klitoris, punggung yang putih mulus dan kuluman rudal, suara kami jadi semakin maracau.
Kocokan mulutnya terhadap Batangku semakin lama semakin dalam dan cepat. Kadang kepalanya naik dan turun, tetapi kadang kepalanya juga sedikit berputar. Sedikit perubahan gerak dari kepalanya, terasa sangat nikmat aku rasakan. Aku mulai kehilangan kendali, ada sesuatu yang bergejolak di atas pangkal batang kemaluanku. Entah mengapa, tangan kanannya menyentuh perutku dan mendorongku. Dorongannya sedikit kuat sehingga aku terduduk di kursi lagi.
"Plop..!" Terdengar suara yang lucu akibat terlepasnya batang kemaluanku dari mulut mungilnya.
"Sekarang giliran kamu sayang." Seakan Mbak Nin tahu, bahwa aku sudah mulai kehilangan kendali. Mbak Nin menghentikan permainannya dan mengatur posisinya lagi.
Aku dapat melihat dengan jelas. Lubang kenikmatan Mbak Nin yang bewarna merah muda dan merekah itu. Aku memandanginya sejenak. Betapa indah lubang surga Mbak Nin yang membuatku seakan tak bernafas menahan gelora dan aliran listrik yang mulai over load. Jari tengah tangan kanan Mbak Nin mempermainkan lubang surganya kekiri, kekanan, keatas, dan kebawah sehingga tampak kemaluan Mbak Nin kembang seakan kembang kempis. Sesekali Mak Nin Mempermainkan clitoris-nya sendiri. Tak berapa lama, wajahnya yang cantik dengan rambutnya yang hitam legam dan panjang itu menengok kebelakang, matanya yang semula bulat kini redup, dan dari bibirnya yang indah Mbak Nin berkata," Kamu mau ini khan?" ujar Mbak Nin yang posisinya semakin menungging untuk menunjukan keindahan ludang surganya kepada ku agar lebih jelas dan agar aku semakin gila.
"Cukup sudah..!" Pikirku.
"Aku nggak tahan lagi." Maka aku dekatkan batang kejantananku yang sudah tegak keras keatas dengan lubang kewanitaannya yang semakin harum dan basah itu.
"Ah.. sayang.. Ufhh!" Aku tempelkan kepala batang ku ke clitoris-nya dan aku gesek-gesekan ke sekitar lubang kenikmatannya.
"Sekarang sayang, sekarang." Mbak Nin sudah tidak bisa menahan hawa nasfunya. Tangan kirinya menjulur ke belakang dan meraih batang kemaluanku. Mbak Nin membimbingnya mendekati gua surga itu, dan..
"Ss.. slek!" secara perlahan dan mantap, batang kemaluanku telah terbenam di lubang kenikmatan Mbak Nin.
Aku dorong pantatku secara amat sangat perlahan sehingga batang kemaluanku pun masuk secara amat sangat perlahan pula. Mulai dari bagian kepala kemaluanku, kemudian bagian leher, kemudian bagian batang, hingga semuanya amblas sampai ke pangkal kelamulanku.
"Ahh.." Mbak Nin dan akupun mendesah menahan kenikmatan yang tiada tara tersebut seiring dengan pergerakan batang kejantananku.
Bersambung . . . .
----
« Hot Zone
« Back
« Home
« New & Fresh
12223